Rumah Adat Yamewa Suku Mee Paniai*** |
Arsitektur
Tradisional Yamewa adalah sebuah rumah tinggal untuk laki-laki,
yang dibangun oleh suku Mee Papua. Siapa suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu suku
dari 312 suku yang ada di Papua [Athwa, 2004: 7].
Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar Danau Paniai, Danau Tage, Danau
Tigi, Lembah Kamu [kini Kabupaten Dogiyai] dan pegunungan Mapiha/ Mapisa [Koentjaraningrat, 1963].
Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar Danau Paniai, Danau Tage, Danau
Tigi, Lembah Kamu [kini Kabupaten Dogiyai] dan pegunungan Mapiha/ Mapisa [Koentjaraningrat, 1963].
Namun, kini
secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di empat Kabupaten yakni
Kabupaten Paniai,
Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten
Nabire.
Arsitektur
Tradisional Yamewa adalah wujud karya nyata leluhur suku Mee. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah
karya leluhur itu dapat di lestarikan atau dimusnahkan, karena mengangap
“kuno, kampungan, ketinggalan, dan tradisional?”. Arsitektur tradisional merupakan suatu wujud kebudayaan yang bertumbuh dan
berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku
atau bangsa. Dan merupakan wujud unsur kebudayaan yang bisa diraba/
dilihat [Koentjaraningrat [2002], dalam [Nurani, 2004:11-12].
Arsitektur tradisional “Yamewa” adalah salah satu dari
hasil penelitian yang didapat, dan berhasil dihimpun. Dalam penelitian yang
berjudul “Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua”
itu kami menemukan sejumlah tipe arsitektur tradisional yang dimiliki oleh
suku Mee Paniai Papua [baca: www. wikimu.com].
Dalam
arsitektur tradisional Yamewa suku Mee Papua terkandung nilai-nilai budaya yang
diperlihatkan melalui hasil karya arsitektur Yamewa. Yamewa yang dapat
kita lihat saat ini adalah hasil kesimpulan akhir atas pengujian alami yang
dilakukan oleh leluhur orang Mee. Selain itu, Yamewa merupakan kesimpulan dari
apa yang dipikirkan oleh orang Mee, dan “diwujudkan” [dibangun] sebagai
tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat
fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku
atau tujuan-tujuan simbolis [D. K. Cing, 1996].
1. Arti kata Yamewa/ Yame Owa.
Setiap nama yang diberikan oleh suku Mee, baik untuk
nama orang, nama tempat, nama gunung, nama danau, dan atau nama pohon
masing-masing mempunyai makna dibalik nama itu. Kata yamewa berasal dari
bahasa suku Mee Papua. Yamewa berasal dari dua kata yaitu yame dan owa.
Secara harafiah yame artinya laki-laki. Owa artinya rumah. Sehingga Yame Owa artinya [Rumah tinggal khusus laki-laki]. Rumah ini [yame owa] dibangun untuk tempat tinggal khusus laki-laki dalam sebuah kampung. Dalam sebuah kampung terdapat 1 [satu] yame owa atau lebih. Jika
jumlah laki-laki yang ada di kampung itu tidak cukup untuk menampung
dalam yame owa itu. Namun, bagi seorang kaya [tonawi] jumlah
laki-laki tidak menjadi pertimbangan pokok. Tetapi sebuah “kebutuhan utama”
untuk memperlihatkan eksistensinya sebagai seorang tonawi. Tonawi adalah
sebutan bagi seseorang yang dianggap telah matang [mobu] dalam
perekonomian dan menguasai hal-hal mistik [Pigai, 2008:7].
Penyebutan lain dari kata yamewa/ yame owa
adalah emawa. Bila kita tinjau dari harafiahnya, kata emawa
mengandung dua arti. Pertama, ema artinya pangung hiburan yang dibuat di
rumah pesta adat [yuwowa pa]. Kedua wa, adalah singkatan dari
kata owa, yang artinya rumah. Jadi, emawa artinya tempat dimana para
laki-laki berkumpul entah di yamewa, sebagai tempat tinggal laki-laki atau di
yuwowa sebagai tempat hiburan/ pesta adat. Dimana para laki-laki terutama anak
muda mencari jodoh. Pembicaraan mengenai yuwowa, mengapa itu dibangun? Apa arti
filosofis bagi suku Mee, terutama kaitannya dengan ilmu arsitektur, kita akan
bahas dilain waktu. Karena dalam tulisan ini kita harus membatasi diri pada
yamewa/ yame owa dan kaitannya dengan filosofi, nilai-nilai adat dan budaya
yang terkandung dalam ilmu arsitektur tradisional [yamewa/ yame owa].
2. Makna Yamewa Dalam Kehidupan
Laki-Laki Suku Mee.
Yamewa tidak berdiri begitu saja sebagai sebuah
“maha karya” para leluhur suku Mee sebagai [wujud] dan tempat dimana para
laki-laki berkumpul pada malam hari untuk berlindung dari gelapnya malam. Akan
tetapi keberadaan yamewa sangat menentukan kehidupan [masa depan] suku Mee
sebagai tempat inisiasi bagi para anak laki-laki. Yamewa dibangun oleh
seseorang [tonawi] atau yang dianggap tua di sebuah kampung. Sebagai
tempat dimana para laki-laki berkumpul, maka dalam yamewa terbentuk suatu
komunitas yang disebut “komunitas laki-laki”. Komunitas laki-laki yang
terbentuk di dalam yamewa ini dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat.
Menurut Abdul Syani [1987] dalam Basrowi [2005]
membagi masyarakat community [komunitas] dari dua sudut pandang. Pertama,
memandang community sebagai unsur statis, artinya community terbentuk
dari suatu wadah atau tempat dengan batasan-batasan tertentu, maka ia
menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga ia dapat pula
disebut sebagai masyarakat setempat, misalnya kampung kecil. Masyarakat
setempat adalah suatu wadah dan wilayah dari kehidupan sekelompok yang ditandai
oleh adanya hubungan sosial. Disamping itu, dilengkapi pula oleh adanya
hubungan perasaan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang timbul atas akibat
dari adanya pergaulan hidup bersama manusia. Kedua, community
dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses-[nya]
yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan antarmanusia, maka
didalamnya ada yang sifatnya fungsional. Sebagai contoh, masyarakat pegawai
negeri sipil, masyarakat kampung, mahasiswa, dan lain sebagainya [Basrowi,
2005:37-38].
Dari kedua pandangan diatas, maka didalam yamewa dapat
disebut sebagai sebuah bangunan [ruang] yang membatasi komunitas laki-laki dan
komunitas perempuan. Maka, dalam kehidupan masyarakat Mee mendirikan dua jenis
bangunan yaitu bangunan khusus laki-laki disebut yamewa dan bangunan khusus
perempuan disebut yagamowa/ yagamo owa. Dengan pembagian [rumah] yang “jelas,
tegas” ini yang dibatasi oleh nilai-nilai dan norma adat dan budaya orang yang
patut di anut oleh masyarakat Mee yang ada didalam budaya dan lingkungan.
Berdasarkan pembagian komunitas antara laki-laki dan
perempuan ini, maka pada akhirnya masyarakat suku Mee “membagi dan membatasi”
[antara laki-laki dan perempuan] dengan sebuah bentuk wujud nyata karya
arsitektur “yamewa dan yagamo owa”. Pembatasan dan pembagian ini tidak berhenti
sampai disitu, namun dalam nilai-nilai hidup budaya orang Mee sejak dulu telah
ada. Dimana adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang jelas dan tegas dalam memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga
mereka. Untuk itu, yamewa berdiri dalam arti arsitektur sebagai identitas diri
laki-laki dari fasad estetis [wujud bentuk luar maupun isi ruang dalam yamewa
itu sendiri]. Sedang yamewa dalam arti antropologi, sosial dan budaya suku Mee
dipandang sebagai berikut:
Pertama, Tempat
musyawarah [mana duwaida/ mana duwataida]. Kehidupan suku Mee pada masa
lalu tidak terlepas dari, masalah/ perang antar kampung dan marga.
Masalah-masalah itu dipicuh oleh berbagai hal misalnya, perebutan tanah
leluhur, persoalan maskawin perempuan. Kedua hal ini yang menjaddi dominan
dalam kehidupan suku Mee, karena pertama tanah diyakini sebagai “mama” yang memberikan
susu kepada anaknya. Kedua, maskawin perempuan, karena arti perempuan bagi suku
Mee diantanya adalah dompet laki-laki, sumber keturunan, tali persahabatan, dan
penyelesai perang/ masalah.
Bukan hanya kedua hal diatas, namun apapun masalah
yang sering terjadi di kehidupan suku Mee, maka tempat penyelesaian masalah
adalah di yamewa. Dalam proses penyelesaian masalah semua laki-laki dan
perempuan berkumpul untuk membicarakan masalah yang terjadi. Namun, kadang-kadang
para perempuan diminta untuk tidak ikut terlibat [tidak dilibatkan] dalam
proses penyelesaian masalah itu.
Beberapa pertimbangan mendasar untuk di jadikan yamewa
sebagai tempat bermusyawarah adalah pertama, ruang luar dan dalam yang
besar dan luas bila dibandingkan dengan yagamo owa [rumah tinggal khusus
perempuan]. Kedua, masalah atau persoalan yang dibahas dapat
diselesaikan atas kesepakatan bersama [sama-sama untung]. Ketiga, orang
yang baru datang dari luar kampung [mee te me] datang atau masuk di
dalam yamewa dengan berani dari pada yagamo owa. Bila musyawarah dilakukan di
yagamo owa, para tamu engan masuk ke dalam rumah tinggal perempuan. Karena
pertimbangan privasi perempuan, dan merasa malu. Keempat, bagi orang
yang mempunyai pendapat, bebas mengeluarkan pendapat yang disertai alasan atau
di sampaikan secara gambaran umum atau pokok pokok pikirannya saja [boko
mana to wegai].
Kedua, tempat belajar seorang laki-laki [yame
ka topetaida]. Kata yame ka topetaida artinya tempat terjadinya
proses belajar dan mengajar khusus laki-laki. Yame ka artinya punya
laki-laki. Lebih menekankan pada kepemilikan laki-laki. Maka itu, dalam yamewa
berisi segala sesuatu yang “wajib” di pelajari/ belajar oleh anak-anak
laki-laki. Karena, didalamnya terdapat, nilai-nilai budaya orang Mee yang harus
diterima oleh laki-laki.
Anak laki-laki yang telah mencapai usia lebih dari 4 tahun, wajib tinggal di
Yamewa. Di yamewa para laki-laki berkumpul mengelilingi tungku api. Dan dirumah
inilah anak-anak laki-laki belajar, mengikuti dan melanjutkan budaya orang Mee.
Menurut Keontjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari
kelakuan dan hasil karya yang harus didapatkan dengan cara belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Anak laki-laki Mee belajar
kebudayaan suku Mee di dalam yamewa dengan cara belajar, hidup dan tinggal
bersama dengan para orang dewasa di dalam yamewa atau diluar yamewa.
Di dalam ruang yamewa ini terjadi pertukaran
informasi, tercipta budaya, dan hasil karya manusia Mee. Ruang yamewa saat
berarti dalam kehidupan suku Mee dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya
hidup yang terkandung dalam bangunan ini. Dalam yamewa terbentuk sebuah bangsa
secara budaya, yang tidak ciri dan bentuk tidak sama dengan budaya orang lain.
Seperti yang diungkapkan oleh Hatta, bahwa kebudayaan adalah
ciptaan hidup dari suatu bangsa.
Ketiga, Tempat
istirahat [yame ka uno umida]. Setelah sepanjang harinya melakukan
aktivitas masing-masing, para laki-laki berkumpul pada malam hari di kediaman
mereka [yamewa]. Aktivitas yang dilakukan oleh para laki-laki sangat
berfariasi. Misalnya, ada yang pergi ke hutan untuk mencari kayu dengan
berbagai kebutuhan. Sebelum tidur atau sekitar jam 06-09 para laki-laki
[terutama anak-anak] datang ke yagamo owa [rumah tinggal perempuan] untuk
mendapat makanan yang dipersiapkan oleh ibu rumah tangga bagi mereka. Makanan
yang dibagikan oleh ibu rumah tangga diantaranya seperti ubi, [dugi/ nota]
keladi [nomo] ikan atau udang. Dan kadang-kadang makan bersama dirumah yagamo
owa, tapi makanan yang makan bersama ini kadang atas kesepakatan bersama.
Misalnya, degnan cara aki you-you [artinya bagi dalam keadaan menta untuk msak
masing-msing orang sesuai dengan selera].
Para laki-laki mulai berdatangan ke yamewa sekitar jam
7-10 malam. Mereka sebelum datang ke yamewa pergi [duduk bersama anak istri di
yagamo owa] untuk mendapatkan makanan baginya yang disediakan oleh ibu-ibu.
Setiap laki-laki yang telah berumur lebih dari 4 tahun harus tinggal di yamewa.
Mengapa? Karena, dengan beranggapan bahwa tinggal [tidur] bersama perempuan
[yagamo], maka laki-laki tidak akan berpikir baik, logis, dan benar, misalnya
para laki-laki dilarang untuk mendekati perempuan pada saat perempuan mengalami
halangan [menstruasi].
Para laki-laki yang telah berkumpul di yamewa,
sebelum tidur [istirahat] mereka melakukan dialog [diskusi]. Hal-hal yang
mereka diskusi [bahas] diantaranya seperti masalah-masalah actual yang terjadi
di sekitar kampung atau di luar kampung. Selain itu, mereka juga menceritakan
berbagai hal terutama kepada anak-anak alaki-laki. Hal-hal yang lebih sering
disampaikan adalah mengenai hubungan keluarga [system kekerabatan sosial],
batas-batas tanah leluhur, mengingatkan masalah pada masa lalu [perang antar kampung
atau marga]. Pembahasan [diskusi] ini awalnya diceritakan oleh salah satu orang
yang menyaksikan atau mendengar persoalan aktul yang terjadi sepanjang hari,
atau sebelumnya. Jika persoalannya menarik, maka mereka membahas masalah itu
sampai larut malam, kadang sampai pagi [tidak tidur].
Secara umum bahan diskusi yang menjadi menarik untuk
diskusi di yamewa terutama kepada anak laki-laki sebagai proses inisiasi adalah
yape mana [perang antar marga atau kampung], mas kawin [mege yamakita mana/
waka mana], menjarkan hal-hal baik, atau nilai-nilai luhur kepada anak
laki-laki [umitou mana], dan bagaimana strategi menempu peperangan
misalnya dengan kopa [tongkat] atau dengan memwabwa uka mapega [busur
dan anak panah].
Keempat, Tempat
menyimpan kelengkapan laki-laki. Yamewa bagi suku Mee tidak sekedar
untuk beristirahat atau sebagai simbol kejajahan seorang laki-laki. Tetapi
dalam yamewa menyimpan berbagai macam dan bentuk kelengkapan laki-laki.
Kelengkapan [alat-alat] yang disimpan ini ada yang barang-barang berharga dan
legendaris. Tempat menyimpan [peletakan] dari masing-masing barang ini
dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Misalnya, ada yang di letakan di dinding, di
sudut rumah [dagi pakopa] dan dan juga di kidouda [ruang atas].
Alat-alat [kelengkapan laki-laki] yang menghiasi
dinding rumah maupun yang diletakan dilantai di rumah yamewa diantaranya,
adalah uka, mapega, koteka, waiya, ipou uwawe, ekina ego, woda ego, weta kona,
yika, maumi. Setiap alat perlengkapan ini mempunyai fungsi yang berbeda. Untuk
mendapatkan alat-alat [bahan] ini rata-rata membutuhkan waktu yang panjang. Hal
ini disebabkan oleh tingkat kerumitan pekerjaan maupun kesulitan bahan.
Selain alat atau kelengkapan laki-laki yang disebutkan
diatas, suku Mee juga mengenal teknologi tradisional. Misalnya, kapak batu
[maumi], mempu menciptakan [menghasilkan] api dengan perlatan sederhana
[beko-mamo]. Untuk mengola tanah pertanian mereka, diperlukan tongkat yang
terbuat dari kayu yang keras misalnya amopiya, kenago, beberapa jenis pohon
lain yang dianggap kuat dan bertahan lama. Jenis alat pengola lahan pertahanian
ini disebut yado. Ada 3 jenis yado, yakni woya yado [tongkat berukuran
panjang], pini yado [tongkat berukuran pendek], maa yado [tongkat kayu buah].
Alat-alat [perlengkapan] laki-laki ini disimpang di
rumah yamewa. Tetapi, kadang-kadang ada yang menyimpan di rumah pondok [owa
yokapa] yang dibangun di kebun hutan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga babi
hutan, agar tidak menggangu tanaman, dan kadang dimanfaatkan untuk mencari
kus-kus hutan pada malam hari [saat bulan
terang].
3. Yamewa dan Pandangan Hidup
Manusia Mee.
Pada umumnya orang Mee menghayati pandangan hidup yang
diturunkan oleh leluhur mereka. Didalam yamewa misalnya, setiap anak laki-laki
“harus” [perlu] mendapat “nasehat” yang menjadi pandangan hidup bagi anak itu
sendiri di kelak. Ada dua kata yang menjadi pandangan hidup bagi suku Mee yang
sampai saat ini masih ada yakni pertama, “dimi akauwai awii” [jadikan
akal budi/ pikiran, sebagai kakakmu], sedangkan kedua, Dou, Gaii, Ekowai [melihat,
berpikir, dan melakukan/ bekerja]. Kedua kata [pandangan] ini orangtua selalu
diungkapkan pada saat seseorang/ terutama anaknya hendak bepergian [merantau]
di daerah lain.
Orang Mee tahu bahwa setiap orang dipenuhi dengan dimi
[pikiran]. Dimi selalu terdapat dalam setiap orang Mee. Ketika dimi
meninggalkan tubuh selamanya, ketika itu seseorang meninggal dunia. Kerja sama
antara dimi dan epo [tubuh] akan mengarahkan seseorang untuk melakukan hal-hal
yang positif. Segala perbuatan yang dituntun oleh dimi selalu membawa dampak
positif seperti sukses, bahagia, kepuasan batin, mendapat kepercayaan, nama
baik.
Memperhatikan dimi sebagai pedoman hidup, orang Mee
mesti menghayati dan menghidupi tiga prinsip dasar kehidupan yakni dou [melihat],
gai [berpikir/ refleksi], ekowai [melakukan/ bekerja]. Orang Mee memandang,
melihat dan mengevaluasi dan menginterpretasikan tindakan seseorang atas dasar
ketiga prinsip ini. Orang Mee selalu menekankan pentingnya dou dan gai
sebelum mengambil keputusan yang mengarahkan kepada tindakan ekowai [Neles
Tebay, 1998].
Selain pandangan hidup suku Mee secara umum yang
disebutkan diatas, berikut ini merupakan pandangan hidup suku Mee yang
terkandung [tersimbol] dalam bangunan [rumah] yamewa dan kehidupan laki-laki
suku Mee kelak, baik didalam rumah yamewa itu sendiri maupun pada saat
berinteraksi dengan orang lain [diluar yamewa], yang dalam kaitannya dengan
yamewa dan pandangan hidup manusia Mee itu sendiri.
Pertama, Yamewa sebagai
identitas seorang laki-laki. Dimana ada yamewa disitu ada laki-laki. Tanpa yame
tidak mungkin yamewa didirikan. Untuk itu, yamewa dibangun untuk memperlihatkan
eksistensi seorang laki-laki Mee sebagai jati diri dan identitas pribadi,
kampung, bahkan lebih jauh adalah sebagai identitas suku Mee di Papua.
Yamewa yang dibangun oleh suku Mee, memperlihatkan
identitas diri seorang laki-laki Mee. Dimana ia [yamewa] memiliki estetika yang
lebih unik dan menarik [seperti seorang laki-laki, menghiasi tubuhnya]
dibanding dengan bangunan lain yang dibangun oleh suku Mee itu sendiri,
misalnya Yagamo Owa, Yuwo Owa, Bedo Owa dan lain-lain.
Ciri khas seorang Yame [laki-laki] ini kita dapat
lihat dari bangunan yamewa, dimana ikatan tali pada bangunan yamewa itu
sendiri. Misalnya pada dinding luar dan dalam. Ikatan tali-tali yang memiliki
banyak nama seperti, togi teba, uwo maga, badou ketepe, mauwayage. Pada
kehidupan laki-laki Mee, apa lagi seorang Tonawi, menghiasi tubuh [okai ma/
okai tine] dengan berbagai perhiasan yang melambangkan kemewaannya.
Kedua, yamewa sebagai
tempat dimi mana motida/ topida. Sebelum mencapai umur 14 tahun, tugas
mendidik dan membina anak laki-laki adalah tanggungjawab penuh dari bapanya.
Bagi seorang anak laki-laki, satu-satunya guru adalah bapa. Bapa menghabiskan
banyak waktunya dengan anak laki-laki. Pada saat-saat seperti ini bapa
menjelaskan bagaimana cara berdagang, memelihara babi, dan agar berkembang
menjadi seorang makodo tonawi [tonawi sejati].
Anak laki-laki akan belajar dari “tindakan” bapanya
tentang bagaimana membuat busur, dan anak panah, perahu, mengasa kapak/ pisau,
membangun rumah serta sejumlah keterampilan dan pengetahuan [ena dimi-mana]
lain yang berguna untuk menjadi seorang laki-laki sejati. Anak belajar semuanya
itu dengan mengambilbagian dalam kegiatan-kegian tersebut. Anak belajar
keterampilan-keterampilan ini, tidak hanya dengan mengamati dan mendengarkan
melainkan juga dengan cara mempraktekkan.
Menyadari bahwa seorang anak mesti dibina tidak hanya
dalam hal keterampilan dan pengetahuan, orangtua menciptakan kesempatan untuk
menjadi independen dan mandiri. Hal ini dibina dengan memberikan sebagian kebun
dan mendorong dia mengolah demi kepentingan keteramppilan dan pengetahuannya.
Selain itu, kadang-kadang orang tua juga memberikan anak babi. Pemberian anak
babi ini disertai dengan penjelasan tentang pentingnya pemeliharaan babi dan
keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh apabila memelihara babi itu dengan
tekun.
Pada sore/ malam hari di rumah yamewa anak belajar
[mendengarkan] tentang mitos, legenda [tetaa]. Peristiwa-peristiwa bersejarah
yang diceritakan, direfleksikan dan didiskusikan oleh para orang tua di rumah
yamewa.
Salah satu aspek lain yang ditanamkan kepada seorang
anak laki-laki adalah keberanian. Bapak mendidik anak menjadi orang yang
berani. Hal ini dilatih mulai dari dengan perang-perangan antara bapak dan
anaknya. Ketika anak tertembak, bapak mengajarkan siasat perang dan sejumlah
hal lain yang memperagahkan dia menjadi orang yang lincah dan berani menghadapi
prang [Neles Tebay, 1998].
Ketiga, yamewa sebagai
“simbol pemersatu” ide, perasaan, dan perbedaan pandangan. Setiap orang
memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Begitu juga laki-laki suku Mee,
mempunyai sifat dan karakter yang khas dan berlainan. Dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang telah dihimpun di yamewa tentu berbeda, pandangan dari
setiap orang. Untuk mempersatukan semua ide, pandangan, pendapat dari semua
laki-laki yang datang atau tinggal di yamewa. Sebelum mengambil suatu kesimpulan
untuk mempersatukan semua pendat, semua orang yang mempunyai pendapat
diperkenankan untuk menyampaikan kepada seseorang orang yang diaanggap bisa
mengambil jalan jalan tengah (keputusan), yang disebut mana
tonawi.
Keempat, yamewa,
sebagai simbol [wujud] kebudayaan suku Mee. Sebelum agama dan pemerintah
Belanda masuk di wilayah Paniai, sekitar tahun 1930-an. Suku Mee hidup dan
merasa bahwa tidak ada orang lain, selain suku Mee, maka mereka berupaya
berbagai cara untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia sejati. Dimana
mereka telah mengenal, tujuh jenis unsur-unsur kebudayaan dan tiga jenis wujud
kebuyaan [Konetjaraningrat, [2002] dalam Pekei, 2008:69].
Batu pakaikeda, adalah salah satu wujud warisan budaya
orang Mee, dengan berbagai bentuk benda [batu, kayu, pigu, dogi, obai, ida,
ipa, manik-manik]. Dan dapat disebut sebagai wujud kebudayaan orang Mee
[Konetjaraningrat, 2002:2].
Kelima, Yamewa sebagai
tempat mencari keselamatan [ayi tai ubai owapa]. Dalam kehidupan suku
Mee percaya akan yang ilahi terungkap dalam beberapa sebutan. Yoseph Tanimoyabi
Bunai [2007] dalam buku “Mobu dan Ayii, Jalan Menuju Keselamatan Inisial dan
Kekal Menurut Suku Mee di Papua, menyebutkan 7 [tujuh] jenis nama yang
digunakan oleh orang Mee untuk menyebut Tuhan sebagai yang ilahi. Ungkapan
kepercayaan akan ilahi itu diantaranya ugatame [pencipta], ipuwe me
[pemilik], wadoo me [yang ada di atas], mee munetai me
[pemelihara manusia], ayii me [penyelamat] ibo naitai [bapa maha
besar] poya me [pribadi yang berkilau].
Cara yang dipakai untuk memperoleh keselamatan [ayii] dalam kehidupan suku Mee
adalah prinsip dasar dimi, [pikiran, akal budi, kemauan]. Dimi/ dimi
mana [pikiran dan perkataan] mengandung arti yang paling utama/ pertama
sebelum mengambil keputusan, berbicara, berbuat, berjalan, atau sebelum
melakukan segala hal. Untuk itu, adanya unsur filosofis yang mengatakan dimi
pukika gaii [berpikir dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka dou
[melihat dengan kesungguhan akal budi], dimi puki ka ekowai [berbuat
dengan kesungguhan akal budi]. Atau lebih singkat disebut dou-gaii-ekowaii
[melihat, berpikir dan melakukan].
Menghayati nilai-nilai hidup. Untuk mencapai ayii,
diperlukan penghayatan terhadap nilai-nilai budaya yang telah diwariskan. Dalam
kehidupan suku Mee baik secara pribadi maupun kelompok, ada 4 nilai-nilai
fundamental dalam hidup yang bersumber dari dimi, yakni ipa, maa, enaimo, dan
ideide. Ipa artinya rasa kasihan, kasih sayang, cinta kasih. Dalam
bahasa umum disebut saling membantu atau tolong menolong, mengerti akan masalah
orang lain dan sebagainya. Maa artinya sunggu, benar, percaya, yakin].
Seorang Mee akan mengatakan maa/ makodo, ketika dia sudah mengalami, merasakan,
mendegarkan, dan melihat dengan mata kepala sendiri. Enaimo, artinya
bersama. Kata ini mengungkapkan nilai kebersamaan, persahabatan, persatuan dan
kesatuan, hidup bersama, saling melengkapi satu sama lain, bersama-sama
mengatasi masalah. Dalam kehidupan suku Mee, kata enaimo, dibuktikan dalam
pekerjaan yang berat. Misalnya membagun rumah, menarik perahu dari hutan, dan
lain-lain. Ideide, artinya gembira, bahagia, senang. Arti lain dari kata
ideide adalah sukacita atau bahagia. Apabila orang menghayati nilai-nilai hidup
yag disebutkan diatas, maka ideide adalah saat menikmati hasil dari pada
nilai-nilai hidup itu.
Norma-norma moral. Dalam mencari keselamatan, suku Mee
mengenal norma-norma moral yang menjadi budaya hidup suku Mee. Norma-norma
moral ini lebih ditekankan pada larangan-larangan, yang sama dengan 10 hukum Musa.
Sementara, Pigai, Gotai, Ruben [2008] dalam buku, Mungkinkah Nilai-nilai
Budaya Hidup Suku Mee Bersinar Kembali? Menyebutkan sebernarnya, bukan
sepuluh tetapi lebih dari sepuluh. Namun ia hanya menyebutkan 10 norma-norma
moral suku Mee, yang disesuaikan dengan Alkitab.
Bagi suku Mee, kesepuluh perintah Allah [hukum
Musa] itu bukan hal baru, tetapi telah ada di kalangan suku Mee jauh sebelum
Injil [Agama] itu datang di daerah Paniai. Larangan-larangan itu adalah oma
teyamoti [jangan mencuri], mogai tetai [jangan berzinah], akaitai-akukai
ibo eyaikai, [hormatilah Ayahmu dan Ibumu], puya mana tewegai [jangan
berdusta], Mee ka yagamo kibigi teyagai [Jangan mengingini istri orang
lain], Mee ka owa kibigi teyagai [jangan menigini rumah orang lain], Mee
tewagi [jangan membunuh orang lain], utama bagee ena ewii
[menghormati semua orang], tanggungjawab dan kasih sayang orangtua, kesabaran,
ketabahan dan ketidakputusasahan, kecerdikan, bersikap lapang dada, tolong
menolong [akadade], tidak boleh memaksakan kehendak orang lain,
kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib. Tidak boleh malas [Bunai,
2007:35-47].
Memelihara relasi dengan roh-roh. Orang Mee percaya
bahwa Tuhan itu ada [ugatame-pencipta]. Maka, dalam kehidupan terdapat beberapa
sebutan untuk menyatakan Tuhan itu ilahi. Misalnya, ugatame [pencitpta],
ipuweme [maha penguasa/ pemilik], ibo/ ibo naitai [maha besar/ bapa yang
agung], ayii me [maha penyelamat], mee munetai [maha pemelihara], epa maki
yakitope me [maha pemegang langit dan bumi].
4. Pengertian Yamewa dalam Ilmu
Arsitektur.
Apa itu arsitektur? Istilah “arsitektur” merupakan
istilah yang holistik, penuh makna dan banyak lapisan pengertian. Kata
arsitektur berasal dari bahasa Yunani yaitu “arch dan tekton”. Arch
artinya berdiri untuk memulai, mengusaha, dan membimbing. Sedangkan, “tekton”
berarti menciptakan, mengembangkan, dan membangun. Maka, kita menarik benang
merah bahwa arsitektur adalah ilmu yang membutuhkan keterlibatan manusia
sebagai aktor untuk mengola, mengembangkan, dan mendirikan sebuah rumah
berdasarkan keadaan alam sekitarnya [Frick dan Widmer, 2006: 61].
Dalam sejarah ilmu arsitektur, rumah atau tempat
tinggal yang aman dan terlindung adalah goa atau tonjolan wadas/ cadas [lapisan
tanah atau batu yang keras]. Tempat ini dianggap aman dan terlindung terhadap
cuaca, binatang liar, dan musuh. Dalam perkembangannya, anusia dengan kemampuan
tangan mulai membangun rumah atau pondok dari dahan pohon atau rumput-rumput.
Berbicara tentang yamewa, bukan berhenti sampai pada
titik [definisi] keteknikan [arsitekturnya] saja. Akan tetapi, untuk menemukan
makna dibalik bangunan yamewa, diperlukan berbagai pandangan dan pendapat yang
tentunya kaitan arsitektur, alam, budaya dan manusia Mee. Untuk mempermudah
mendapat makna yamewa dalam ilmu arsiektur. Maka, dibutuhkan pandangan lain
tentang yamewa sebagai wujud kebudayaan orang Mee, dan orang Mee sebagai
pemilik budaya yamewa serta dimana yamewa itu berdiri [kosmologisnya].
Pertama, Yamewa sebagai wujud kebudayaan suku Mee. Apakah itu
arsitektur tradisional? Berikut ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang
sering diajukan mengenai kaitan arsitektur [yamewa] sebagai wujud kebudayaan
dan hasil karya manusia Mee [Koentjaraningrat 2002: 2]. Arsitektur tradisional
merupakan identitas budaya suatu suku bangsa, karena didalamnya terkandung
segenap perikehidupan. Jadi, setiap perubahan bentuk kehidupan masyarakat
tradisional akan mempengaruhi arsitekturnya [Soeroto, 2003:11].
Menurut Rapoport [1990] dalam Nurani [2004:11] menyebutkan pengaruh sosial
budaya terhadap bentuk arsitektur adalah adanya proses pembentukkan hunian
sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta
pengaruh seting atau rona lingkungan baik yang bersifat fisik maupun nonfisik
[sosial budaya] yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses
pewadahannya. Selain itu, lingkungan buatan menyampaikan makna-makna,
memberikan kerangka ruang dan waktu untuk tindakan manusia dan perilaku yang tepat
[Rapoport dalam Snyder, 1979:5-6].
Menurut Joni Gobai [2001] dalam [skripsinya yang berjudul “Membangun Kabupaten
Paniai dengan Konsep Budaya Emawa/ Yamewa” mengatakan bahwa budaya yamewa
adalah suatu sistem gagasan dan hasil karya manusia [suku Mee] untuk memenuhi
kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat suku Mee. Rumah ini dibangun secara tradisional, namun dirancang
secara teknik, estetika, dan struktur yang berbeda dimana yamewa menggambarkan bagaimana
seorang laki-laki Mee menggunakan pakaian tradisional dan berbagai perhiasan
pada seluruh tubuhnya.
Manusia dan kebudayaan yang dihasilkannya serta peradaban yang dihasilkan
terletak pada alam sekitarnya dengan hukum alamnya. Dari kebudayaan
keseimbangan dengan lingkungan, sosial-kebudayaan tertentu, kemudian dibuat
faktor-faktor lingkungan, seperti mendirikan rumah.
Kedua, Yamewa dalam arti Arsitektur Vernakular. Arsitektur
tradisional yamewa yang dibagun oleh suku Mee ini, dapat dikatakan sebagai
arsitektur vernakular. Mengapa? Karena ia [yamewa] dibangun pada saat manusia
Mee di Paniai itu belum dipengaruhi oleh dunia luar [sebelum akulturasi
budaya]. Yamewa lahir dari dinamika antara kebutuhan [kebutuhan kondisi lingkungan
yang kondusif, keamanan, keharmonisan antara alam dan manusai], dan cara [bahan bangunan yang tersedia dan teknologi konstruksi] yang tersedia dimana
manusia Mee itu mendiami [mouwo].
Yamewa juga dapat disebut sebagai arsitektur
prasejarah dan primitif yang merupakan bentuk yang hadir pada tahap awal
dinamika ini. Kemudian manusia Mee menjadi lebih maju dan pengetahuan mulai
terbentuk melalui tradisi lisan dan praktek-praktek, sehingga arsitektur
vernakular yamewa berkembang menjadi ketrampilan hingga saat ini, kita masih bisa
dinikmati bentuk dan estetikanya. Pada tahap inilah terdapat proses uji coba,
improvisasi, atau peniruan yang dilakukan oleh leluhur roang Mee, sehingga
menjadi hasil yang sukses. Dalam kehidupan suku Mee pada saat seseorang
mendirikan rumah tinggal, tidak mengenal istilah “arsitek” [ahli bangunan]
tetapi orang yang menjadi arsitek adalah pemilik rumah itu sendiri, disisi lain
kadang dipanggil seseorang yang dianggap cocok untuk mengukur pondasi panggung
sebelum bangunan itu dibagnun. Tetapi, ia bukan seorang arsitek, ia hanya
membantu mengukur pondasi sebelum bangunan itu dibangun. Arsitektur vernakular yamewa lahir dari
pendekatan yang demikian dan hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat suku
Mee di Papua [www.wikipedia.org].
Ketiga, Yamewa dalam
arti Arsitektur Tradisional. Secara arsitektural, yamewa dibangun
berdasarkan perilaku manusia Mee dimana bentuk yamewa yang begitu megah, kuat
dan bernilai estetis yang tinggi, dibanding arsitektur rumah adat lainnya [yagamo
owa, yuwo owa, ekina owa dan lain-lain]. Yamewa adalah salah satu bangunan
[rumah adat/ tinggal] bagi laki-laki suku Mee sehingga disebut arsitektektur
tradisional.
Arsitektur merupakan tempat “bernaung” yang paling “sederhana”
dimana arsitektur [yamewa] sebagai lingkungan binaan [built environment] yang berfungsi untuk “perlindungan dari bahaya” dan untuk menampung kegiatan
manusia serta sebagai “identitas status sosial” [Snyder]. Mengutip
pendapat Snyder, yamewa memperlihatkan “statusnya sebagai seorang laki-laki”
dalam bentuk, ornamen, cara ikat, pemilihan kualitas bahan, ukuran. Yamewa adalah
sebuah ruang, yang memiliki dinding pemisah antara [tapo-luar dan kuguda/
owa duba–dalam]. F.D.K. Ching, menyatakan, arsitektur pada umumnya “dipikirkan”
[dirancang] dan “diwujudkan” [dibangun] sebagai tanggapan terhadap sekumpulan
kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau
merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan
simbolis.
5. Kesimpulan
Kini semua kekayaan kebudayaan, nilai-nilai hidup
budaya orang Mee yang pernah ada dan yang menghantar manusia Mee sampai pada
saat ini telah hilang. Penyebabnya adalah kita [generasi sekarang], telah
mengidap virus “ikut-ikutan”, kemudian kitalah yang menghakimi budaya kita
sendiri dengan dalil budaya itu, “kuno, ketinggalan, tradisional, kampungan,
primitif, masa bodoh, zaman batu” dan sebainya dan seterusnya. Disini
diperlukan suatu kesadaran diri akan pentinnya, faktor budaya dalam segala
aspek kehidupan manusia. Karena saat ini dimana, mana telah kehilangan jati
diri sebagai manusia berbudaya, yang pernah ada dan yang dimiliki oleh setiap
suku bangsa yang ada di dunia.
Suku Mee artinya manusia sejati yang memaknai konsep
budaya arsitektur yang tersimbol dalam beberapa tipologi bangunan. Rumah adat
yame owa yang didirikan oleh orang Mee mempuyai beberapa makna konsep
budaya yang terwujud dalam bentuk arsitektur yamewa diantaranya:
Pertama, Bahwa rumah
adat yamewa didirikan seseorang yang memiliki status sosial, ekonomi
yang mapan menurut ukuran masyarakat sekitarnya dan karena mempunyai kemampuan
tertentu baik dalam hal pemahaman budaya maupun hal-hal mistik.
Kedua, Bahwa rumah
adat yamewa adalah simbol yang mencerminkan dasar hidup manusia artinya
manusia hidup dan tinggal dalam rumah yang memiliki fondasi yang kuat dan
kebahagiaan dalam hidupnya.
Ketiga, Budaya rumah
adat yamewa adalah tempat yang mengantar manusia suku Mee pada
pengembaraan dalam pemikiran manusia untuk memaknai setiap fenomena alam dan
masyarakat yang dihadapi dalam proses hidupnya.
Keempat, Yamewa
adalah simbol pemersatu ide, perasaan, perbedaan pandangan, yang berorientasi
pada proses dialog dalam rangka penyelesaian masalah-masalah yang terjadi di
tengah masyarakat [Suku Mee].
Kelima, Arsitektur tradisional yamewa adalah wujud karya nyata leluhur suku Mee. sebagai simbol identas budaya
suku Mee di Papua.
0 komentar:
Posting Komentar