Latar Belakang
Perkembangan
Ilmu Administrasi Negara, yang dewasa ini mulai lazim disebut
Administrasi Publik, sudah demikian pesatnya. Di samping
konsep-konsepnya yang makin implementatif dan tidak lagi dikaburkan
dengan konsep manajemen, sehingga diharapkan tercipta pelayanan publik
yang sesuai dengan harapan masyarakat (pelayanan prima). Disebutkan
makin implementatif karena mulai dimanfaatkannya secara sungguh-sungguh
berbagai konsep manajemen modern, yang semula berhasil diterapkan dalam
dunia swasta/bisnis,kemudian dimodifikasi untuk
kepentingan administrasi publik.
kepentingan administrasi publik.
Dalam mewujudkan kepentingan administrasi
publik (pelayanan prima) sangat diperlukan birokrasi yang baik.
Penyempurnaan birokrasi dalam pemerintahan memerlukan perubahan sikap
mendasar dari birokrasi itu sendiri. Patologi birokrasi terutama
menunjukan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri,
mempertahankan status quo dan menghalangi adanya perubahan yang
cenderung sentralistik.
Namun transformasi birokrasi itu sendiri
juga tidak mudah untuk dilaksanakan, pasalnya pendekatannya sering
terlalu bersifat struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan
fungsi fungsi. Tetapi yang tidak kalah penting adalah pembaharuan pada
sisi nilai nilai yang membentuk manusia birokrat.
Perubahan
lanskap makro yang interdependen baik ditingkat lokal, nasional, dan
global saat ini, sangat mempengaruhi berbagai daerah di Indonesia.
Ditingkat lokal, dengan dilaksanakannya otonomi daerah, menandai
pergeseran pola manajemen pemerintah dari manajemen pemerintahan yang
sentralistik-eksploitatif. Kemudian di tingkat nasional, adanya
perubahan besar dibidang politik, ditandai dengan pergeseran system
politik dari otoritarian-bebal ke demokratik-akomodatif.
Perubahan
yang terjadi di era globalisasi serta tuntutan masyarakat yang semakin
kompleks dan selalu berkembang, mengharuskan adanya peningkatan
kinerja birokrasi. Untuk itu diperlukan birokrat yang mempunyai
pemikiran yang berwawasan global, dan mempunyai jiwa kewirausahaan.
Pengertian Birokrasi
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy),
diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan
bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari
pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya
administratif maupun militer.
Pada rantai komando ini setiap
posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan dengan jelas dalam
organigram. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur ketat
sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya
terdapat banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian
wewenang harus dilakukan sesuai dengan hirarki kekuasaan.
Berbagai definisi birokrat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
- Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
- Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
- Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
- Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
Patologi dan Birokrasi
Patologi
merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu
tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry"
(Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa
birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu
dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.
Prof. Dr.
Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi
ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh
manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi.
Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi
berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi,
sosio-kultural dan teknologikal.
Risman K. Umar (2002)
mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk
perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan
dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang
berlaku dalam birokrasi.
Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai berikut:
1. Birokrasi sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)
2. Organisasi dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien
3. Struktur dan fungsi organisasi besar yang sering melakukan kesalahan dan tidak mampu berubah.
Gejala Terjadinya Patologi (penyakit) Birokrasi
Berbagai
keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal baru
lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan
kondisi empirik yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit
(bureau patology), seperti Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian
(peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk
mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity), ketimbang
citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang
dikandung misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.
Citra
buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke
permukaan, yang berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat
publik, yakni korupsi dengan beranekaragam bentuknya, serta lambatnya
pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang berbelit-belit atau yang
lebih dikenal dengan efek pita merah (red-tape). Keseluruhan kondisi
empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep
birokrasi Hegelian dan Weberian yang memfungsikan birokasi untuk
mengkoordinasikan unsur-unsur dalam proses pemerintahan. Birokrasi,
dalam keadaan demikian, hanya berfungsi sebagai pengendali, penegak
disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan kekuasaan yang sangat
besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.
Buruk
serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat
untuk mencari ”jalan pintas” dengan suap atau berkolusi dengan para
pejabat dalam rekrutmen pegawai atau untuk memperoleh pelayanan yang
cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali mendorong para
pejabat untuk mencari ”kesempatan” dalam ”kesempitan” agar mereka dapat
menciptakan rente dari pelayanan berikutnya. Apabila ditelusuri lebih
jauh, gejala patologi dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian,
bersumber pada lima masalah pokok.
1. Pertama, persepsi gaya
manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari
prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi
seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan
nepotisme.
2. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para
petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan
produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering
berbuat kesalahan.
3. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
4.
Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional
atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan
diskriminatif.
5. Kelima, akibat situasi internal berbagai
instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi,
seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan
deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
Jenis Patologi Birokrasi
Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2. Pengaburan masalah
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire bulding (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
Jenis Patologi Sistem Organisasi
Birokrasi “parkinsonian”,
dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran
struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi
bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi
tuntutan struktur dan kekuasaan.
Birokrasi “orwellian”
yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga
kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi.
Promosi dan rotasi bukan atas dasar kompetensi dan kebutuhan organisasi tetapi kepentingan kekuasaan dan dilakukan
1. Ritualisme/simbolisme:
berbagai kegiatan serimonial yang berlebihan
2. Kinerja yang rendah (tokenisme) atau paling tinggi mediocre :
pemborosan, tidak efektif
Ada beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi Organisasi atau kelompok antara lain :
- Terlalu percaya pada preseden, padahal tuntutan telah berubah.
- Formalisme dan Kurang inisiatif (takut membuat kesalahan)
- Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan)
- Duplikasi kegiatan dan departementalisme
- Red tape (cara kerja yang berbelit-belit dan ditunda-tunda)
- Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo.
- Budaya korupsi ( korupsi berjamaah) :
- discretionary corruption: diskriminasi, spoil system, kolusi
- illegal corruption: menyalahi aturan yang ada
- mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi fiktif,mark up, ruislag,
- ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi
Jenis Patologi Perilaku Birokrat
1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap, markup, menetapkan imbalan, kontrak fiktif, penipuan.
2. Tindakan sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan secara kasar/halus). Misalnya: pemotongan insentif, rapel, gaji dsb
3. Empire Building dengan menciptakan para aktor dependent disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan) , bonus dsb.
4.
Nepotisme/primordialisme : perekrutan dan penempatan posisi atas
dasar “pertalian darah” /kesukuan kedaerahan bukan kompetensi.
5. Sycophancy (kecenderungan ingin memuaskan atasan dengan cara yang counter productive)
6. Konsumerisme dan hedonisme
7. Takut mengambil keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):
8. Mutu Pelayanan terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura sibuk, tidak sopan, diskriminasi.
9. Disiplin dan Semangat kerja umumnya rendah
10. Armandiloisme : mamalia penggangsir yang melindungi diri dengan memo, rapat dan perangkat peraturan
11. Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai kata-kata jargon (samar) dan yang muluk untuk menutupi kelemahannya
Penyelesaian Masalah Atau Solusi Patologi Birokrasi
Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi,
sebaiknya seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama
untuk melaksanakan proses pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Solusi
dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat yang mujarab jika
seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena setiap element
baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak swasta
memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan.
Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: Yang
pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya
reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja,
bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya
mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang
tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral,
dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat
pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan.
Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang
jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan,
termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi.
Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun
sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak
sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat
dilakukan dengan cara:
1) kepemimpinan yang adil dan kuat
2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan
transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada
dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng
dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas
merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini.
Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga
mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.
Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance
Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik.
Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.
Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas betapa prinsip-prinsip good governance
dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi
dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance
dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut:
1. Participation. Melalui
prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang
bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta
berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka
pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan.
Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan
masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin
memanfaatkan pemerintah.
2. Rule of law. Supremasi hukum
merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau
menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan
penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan
terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.
3. Transparancy.
Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh
pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui
informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong
birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan
perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti
mengetahui dan melakukan penututan.
4. Responsiveness.
Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat
melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan
pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah
dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah
harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders.
5. Effectiveness and efficiency. Pemborosan
yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat
diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran
pemerintah.
6. Accountability. Melalui pertanggungjawaban
kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan
akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat
dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.
7. Strategic vision.
Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan
nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk
masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan
memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi.
Kesimpulan
Risman
K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit
atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis,
aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta
norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2. Pengaburan masalah
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire bulding (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
Solusi untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:
1. Perlu adanya reformasi administrasi yang global.
2. Pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas
3. Dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi.
DAFTAR PUSTAKA
arrosyadi.wordpress.com/2009/02/06/patologi-birokrasi
blog.unila.ac.id/denden/files/2009/07/PATOLOGI-BIRO.ppt
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi
http://kerajaan-semut.blogspot.com/2010/03/teori-birokrasi.html
rismankudratumar.blogspot.com/.../perubahan-patologi-birokrasi-ke-etika_10.html
v318.wordpress.com/2007/11/08/patologi-birokrasi/
Oleh: Mando Mote (Yaba Dogo Mote)
0 komentar:
Posting Komentar